DI kalangan bandar sarung Pasar Tanah Abang (Jakarta) dan Pasar Turi (Surabaya), kata "made in Majalaya" sangat akrab di telinga. Sejak 1960-an, istilah itu berarti sarung kelas ekonomi menengah ke bawah. Dari Majalaya -kota kecil 22 km sebelah tenggara kota Bandung- itu, setiap harinya ribuan kodi sarung tenun dibongkar di pasar grosir tadi.
Ciri-ciri sarung Majalaya mudah dikenali. Motifnya monoton kotak-kotak atau perpaduan lurik horisontal-vertikal, serat benangnya sedikit kasar. Acapkali pintalan dan rajutannya sedikit renggang dan mudah berbulu.
Pantas harganya lebih murah ketimbang sarung Pekalongan yang terkenal halus karena dibuat dengan teknologi canggih. Secara grosiran sarung Majalaya rata-rata harganya sekitar Rp 8.000-Rp 10.000/lembar. Untuk menyalurkan bantuan sosial kepada korban bencana, instansi pemerintah biasa mengambil sarung Majalaya sebagai pengisi paket.
Tetapi pada Ramadhan hingga Lebaran dan Lebaran Haji, order akan sarung Majalaya dari berbagai kota di Indonesia terus mengalir, bahkan sejak tiga bulan sebelumnya. Bagi sekitar 100 pengusaha tenun sarung di Majalaya, hal itu membuka secercah harapan menyambung hidup. Selama ini mereka megap-megap diterpa badai krisis ekonomi.
Haji Achmad (37) misalnya, sejak Oktober lalu meningkatkan produksi dari 280 menjadi 1.400 kodi/bulan. Lonjakan order membuat di hari libur pun tetap terdengar hiruk-pikuk suara 90 mesin tenun miliknya yang ditangani 70 pekerja. Hal sama terjadi pada pabrik tenun milik Haji Usep R (40). Produksi mereka langsung disambar bandar sarung dari berbagai kota, diangkut mobil boks begitu selesai dikemas.
Pasar Tanah Abang menjadi terminal distribusi sarung Majalaya buat kota-kota di Indonesia Barat, seperti Palembang, Padang, Medan, dan Banda Aceh. Sedangkan Pasar Turi Surabaya, mendistribusikan sarung Majalaya untuk kota-kota di Indonesia Timur, seperti Ujungpandang, Gorontalo dan Ambon.
Bahkan, ketika dollar masih menembus kisaran Rp 12.000, pedagang dari Filipina, Nigeria (Afrika), dan Banglades sering memborong sarung Majalaya dari kedua pasar itu.
***
UMUMNYA pengusaha tenun sarung Majalaya saat ini adalah generasi kedua dan ketiga yang mewarisi usaha orangtua. Sayangnya mesin-mesin warisan mereka tidak mengikuti zaman teknologi canggih karena masih mengandalkan tenaga manual. Setiap mesin dioperasikan seorang pekerja, sehingga tidak efisien dan rapi.
Terlepas dari istilah rezeki musiman, peningkatan order pada Ramadhan ini punya arti tersendiri bagi usaha rakyat berskala kecil yang tersisa di Majalaya. Paling tidak, untuk sementara waktu, industri tenun tradisional itu pelan-pelan menggeliat lagi.
Seakan mendapat suntikan energi baru, suara mesin tenun tak lagi selirih tiga-empat bulan yang lalu. Pekerja yang dirumahkan lantaran krisis ekonomi, dipekerjakan lagi. Mereka dibayar tidak terlalu jauh dari standar UMR Jabar yang sebesar Rp 7.200 per hari.
Puluhan pabrik tenun yang selama ini hanya mempertahankan hidup dengan mengerjakan pesanan rajutan karung tepung terigu, ikut-ikutan menyisihkan sebagian waktunya untuk membuat sarung. "Sayang kalau momen Ramadhan terlewatkan tanpa sarung," ujar Yayat (42), pemilik pabrik tenun yang biasa merajut maklun, karung tepung terigu.
Di samping kelihaian sendiri, pengusaha tesktil kerap meraih order berkat kemitraan Koperasi Pengusaha Pertekstilan (Koppertek) dengan pihak luar. Begitu pula dalam urusan pengadaan bahan baku benang. Lewat koperasi dan bandar-bandar benang di Majalaya, para pengusaha sarung tidak terlalu sulit mendapatkan benang dari berbagai jenis, seperti polyester dan katun.
Untuk setiap kodi sarung (sepuluh lembar sarung) dibutuhkan sekitar 6 kg benang yang dibeli dalam satuan bal (satu bal setara dengan 181,44 kg benang). Polyester dibeli Rp 35.000-Rp 40.000/kg, katun 20-S antara Rp 900.000 - Rp 1.000.000/bal. Dalam krisis ekonomi, harga bahan tersebut bisa naik 30 persen. Keuntungan yang mereka raih tidaklah terlalu besar. Paling banter 10-20 persen dari harga pokok produksi (HPP).
Dengan meningkatnya produksi, kebutuhan akan benang otomatis terdongkrak, tetapi pengusaha tenun tidak pernah risau. Benang bisa juga diperoleh dari bahan sisa pabrik tenun modern. Bahan tak terpakai karena salah desain di pabrik tekstil besar, didaur-ulang pabrik tenun konvensional, harganya pun lebih murah 30-50 persen.
Bagian baju berbahan polyester "gagalan" itu didaur-ulang dengan mengolahnya menjadi lembaran-lembaran benang. Dari dua ton "gagalan" bisa dihasilkan satu ton benang polyester.
Tak mau kalah oleh produk sarung kelas atas, pengusaha tenun Majalaya suka memberi embel-embel pada produknya berupa cap yang mirip merek sarung papan atas yang lagi ngetren. Misalnya pada tahun 1970-an, ketika sarung cap "padi" lagi naik daun, Majalaya berusaha bonceng tenar dengan membuat cap "padi jaya" atau "padi mas". Ketika cap "gajah" sedang terkenal, mereka ikut-ikutan merancang label semisal cap "gajah mangga", "gajah duduk", atau "gajah jongkok".
Yang pasti dengan merek-merek boncengan itu, banyak warga masyarakat bisa berlebaran dengan gaya. Entah, apakah situasi itu juga berlaku di zaman krisis sekarang. (nasrullah nara)
Sumber :
Kompas, 9 Januari 1999 dalam :
http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Bacaan/Readings_Intermediate/Kompas/Kompas4/default.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar