Selasa, 29 Juni 2010

Pesona Pagi di Kawah Kamojang


Sabtu akhir Desember 2008 itu adalah salah satu jadwal outing Sekolah Bumi, sebutan kami untuk program homeschooling anak-anak kami. Kali ini kami memilih Kawah Kamojang, Jawa Barat, yang kabarnya memiliki kawah aktif dan sekaligus instalasi pembangkit listrik. Dari Internet, kami mendapat info dua alternatif jalur untuk mencapai Kamojang dari Bandung. Pertama, jalur Garut yang memutar lebih jauh (sekitar 100 kilometer) tapi landai dan kedua adalah jalur Majalaya yang lebih dekat (sekitar 35 kilometer) tapi lebih curam. Kami memutuskan mencoba lewat Majalaya.

Berangkat pukul 13.00 WIB, jalur Bandung-Majalaya kami tempuh dengan cukup cepat, karena jalanan relatif lengang dan mulus. Di Majalaya, jalanan mendadak sontak berubah menjadi rusak, penuh lubang dan semrawut. Untuk menemukan jalan menuju Kamojang, kami harus beberapa kali bertanya karena tak ada satu pun papan penunjuk jalan.

"Tuh, ke arah gunung yang gelap sana!" jawab Mang Becak, yang kami tanyai, sambil menunjuk ke arah bayangan pegunungan yang dikungkung awan kumulonimbus yang gelap. Dengan hati sedikit bergetar kami pun mengarahkan mobil ke jalan yang ditunjukkan.

Jalur sulit mulai terasa selepas Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Jalan aspal sempit menanjak curam yang menembus hutan membuat mesin mobil kami meraung memeras tenaga. Hujan rintik-rintik yang turun sejak siang menambah licin jalan. Medan semakin sulit ketika lubang aspal menganga di sana-sini. Batuan kerikil yang terlepas dari aspal membuat roda terkadang selip dan membelokkan arah kemudi mobil.

Adrenalin semakin terpompa ketika dua kali mobil gagal mendaki kecuraman jalan karena selip di tengah-tengah tanjakan panjang, akibat licin dan rusaknya jalan. Sementara itu, jurang dan lembah bergantian menggiring kami dari sisi jalan. Terpaksa sang istri turun dan memandu arah mobil dari ujung tanjakan. Dua tanjakan curam terakhir sebelum masuk ke kawasan Kamojang membuat kami merasa menjadi off-roader dadakan. Hanya, perasaan ini langsung menguap ketika menyaksikan sopir lokal mengemudikan mobil bak terbuka dengan santai, meniti tanjakan maut itu dan berlalu melewati kami.

Lolos dari tanjakan "maut" yang dikenal sebagai Tanjakan Monteng, jalanan relatif datar dan lebih mulus. Rupanya kami sudah memasuki kawasan Kamojang. Instalasi pipa-pipa keperakan terlihat membujur di samping jalan. Bangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi yang dioperasikan PT Indonesia Power itu menjadi gerbang masuk ke kawasan wisata Kawah Kamojang. Instalasi yang tak menyatu dengan alam sekitarnya ini seperti kaku dan tak menyambut ramah kedatangan kami.

Setelah membayar karcis di gerbang masuk, kami pun melaju menembus hutan tropis Kamojang. Tak lama berselang, di kiri jalan terhampar danau dengan asap yang mengepul dari permukaannya. Rupanya inilah Kawah Manuk, satu dari 40 kawah yang tersebar di kawasan Kamojang. Di sebelahnya, asap mengepul Kawah Berecek mengantar kami menuju pelataran parkir.

Sesampai di pelataran parkir Kamojang, suasana sore mulai turun. Asap fumarol masih terlihat mengepul kelabu di sela-sela pepohonan jamuju, saninten, dan puspa yang menjulang di perbukitan depan kami. Kami memutuskan bermalam agar dapat menjelajahi kawasan ini keesokan harinya. Guest house satu-satunya di tempat itu sudah terisi, maka kabin tengah mobil pun disulap menjadi tempat tidur yang cukup nyaman bagi kami berlima.

Menjelang magrib, pelataran parkir pun dengan cepat gelap dan warung-warung mulai menyalakan lampu petromaks. Tebersit pertanyaan, di tempat yang berjarak hanya sekitar 1 kilometer dari pembangkit listrik berkapasitas 375 MW itu, tak satu watt pun listrik yang mengalir, bahkan sekadar untuk menerangi warung-warung dan musala. Maka malam itu pun kami lalui ditemani pancaran sinar petromaks warung. Sejenak kami merasa berada di tempat yang terpencil dan jauh dari peradaban.

Ketika fajar menyingsing, Kamojang menggeliat bangun dan memamerkan kecantikannya. Sinar matahari pagi yang berhasil lolos menembus asap fumarol dan pepohonan pinus di punggung Gunung Guntur menyajikan permainan garis-garis cahaya yang menakjubkan. Kami bergegas bangun dan sarapan. Tak sabar, anak-anak sudah lari melesat menuju kawah terdekat meninggalkan kedua orang tuanya.

Kawah pertama yang kami datangi adalah Kawah Sakarat dengan endapan sulfur yang mengeluarkan gas. Asap mengepul dari celah-celah endapan membiaskan cahaya matahari pagi dan menyajikan atraksi warna-warni yang menarik. Terkadang asap berwarna kehijauan, lalu berubah kebiruan, kemudian kembali putih. Pemandangan elok ini sepertinya hanya dapat kami saksikan di pagi hari. Mungkin inilah rahasia asal-usul nama Kamojang, yang konon berarti "wanita paling cantik".

Kawah Kamojang adalah kawasan cagar alam dan wisata di ketinggian sekitar 1.730 meter di atas permukaan laut di punggung Gunung Guntur. Di sini dapat ditemukan fumarol, kawah lumpur, danau panas, dan asap yang muncul dari rekahan tanah. Ia digolongkan sebagai gunung tipe strato dan terakhir meletus di zaman Plistosen.

Di Kawah Sakarat ada beberapa "kawah mini" berupa endapan lumpur sulfat berdiameter sekitar 30 sentimeter, yang mengeluarkan gelembung-gelembung seperti mendidih. Di sini anak-anak mengumpulkan contoh batuan sulfur yang berwarna putih kebiruan untuk dibawa pulang. Sementara itu, Nanda, anak tertua, berusaha menangkap asap gas dengan botol air mineral di kawah yang lain.

Tak jauh kami melihat semburan asap panas Kawah Kereta Api membubung ke atas sekitar 20 meter tingginya dan mengeluarkan suara menderu yang sangat keras. Kawah ini sebenarnya adalah sumur gas bumi sedalam 60 meter yang dibuat oleh Belanda pada 1928. Asap panasnya menyembur dengan tekanan 2,5 bar dengan kapasitas 2-3 ton per jam. Kami tergetar melihat aksi sumur geotermal ini. Betapa panas bumi ini berpuluh tahun telah memompa energi dengan suhu mencapai 140 derajat Celsius tanpa henti. Dari sisi barat kawah, kami menyaksikan sinar matahari pagi yang membias dan berpendar indah di kepulan gas yang menyembur itu.

Perjalanan kami berlanjut menuju kawah berikutnya, yaitu Kawah Hujan. Berbeda dengan kawah-kawah sebelumnya, kawah ini berupa uap air dan gas sulfur yang terlihat mengepul dari sela-sela batuan vulkanik. Kawah ini menjadi tempat favorit pengunjung untuk merasakan mandi uap. Semburan gas yang lembap dan cukup panas dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit kulit.

Sambil menapaki jalan tanah dengan pepohonan hutan hujan tropis di sekelilingnya, kami memompa udara pagi yang segar hingga memenuhi paru-paru. Di vegetasi yang masih terjaga ini, kami menemukan berbagai pepohonan tegak, dikelilingi tumbuhan semak cantigi dan digayuti berbagai tumbuhan merambat, seperti rotan, seseureuhan, dan pungpurutan. Benalu dan jamur dapat kita temukan sedang mengisap batang-batang pohon yang telah tumbang. Sayang, kami tak menjumpai satwa selain kadal dan ular. Padahal di sini adalah habitat bagi babi hutan, kijang, trenggiling, lutung, dan berbagai jenis burung.

Di samping Kawah Cibuleran, kami menemukan sungai berair hangat dan dibendung dengan sekadarnya. Spontan anak-anak langsung mencebur dan berendam di kehangatan airnya. Lumayan sebagai pengganti mandi pagi yang tak sempat dilakukan. Di dekat sungai ini ada pondok-pondok bambu reot tak terurus, yang tadinya dimaksudkan sebagai tempat berganti pakaian. Pengunjung yang ingin berendam di sungai ini diharuskan memakai baju tertutup.

Puas berendam, kami melanjutkan trekking menyusuri jalan tanah di tengah hutan. Melintasi area yang sedang direboisasi dengan pohon mara, rasamala, dan lain-lain, jalan yang kami susuri berujung kembali ke Kawah Manuk dan Kawah Berecek. Dari sini, kami kembali ke pelataran parkir. Wajah-wajah segar dan gembira anak-anak pun menjadi oleh-oleh yang kami bawa ke Bandung.

Sebenarnya Kawah Kamojang sangat berpotensi menjadi wisata geotermal yang lebih edukatif dan atraktif. Informasi ilmiah tentang berbagai fenomena alam dapat disajikan dengan bahasa populer dan dipajang di tempat-tempat strategis. Keberadaan pemandu yang terlatih dapat menjadi alternatif.

Bahkan pada malam hari pun kawah-kawah ini bisa menjadi ajang atraksi. Dengan menyorotkan lampu-lampu ke kepulan asap di setiap kawah, sensasi visual yang mengagumkan akan dapat dinikmati. Dengan demikian, Kawah Kamojang dapat dikunjungi siang dan malam. Tentu dengan menambahkan sarana akomodasi yang lebih layak. Soal dana, rasanya Pertamina dan operator PLTG yang sudah mengeruk keuntungan dari kekayaan alam ini tak akan pelit menyisihkan sumbangan untuk itu. Dan pesona pagi di Kawah Kamojang pun akan semakin banyak menarik pengagumnya.


MURSID WIJANARKO, PENIKMAT PERJALANAN, TINGGAL DI BANDUNG

Sumber :
http://www.tempointeraktif.com/hg/perjalanan/2009/01/26/brk,20090126-156961,id.html
26 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar